Minggu, 16 April 2017

TUGAS : Matematik dan Ilmu Alamiah Dasar (BAB 1 PI)

HUBUNGAN PERSEPSI PEMBERIAN INSENTIF DAN PROAKRASTINASI
KERJA PADA KARYAWAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Karyawan merupakan salah satu sumber daya manusia (SDM) yang sangat penting dan dibutuhkan dalam seluruh kegiatan produksi suatu organisasi atau perusahaan. Berkembang atau tidaknya suatu perusahaan juga tergantung dari kualitas karyawan atau SDM yang dimiliki. Secara garis besar, karyawan atau SDM dalah individu yang bekerja sebagai penggerak suatu organisasi, baik institusi maupun perusahaan dan berfungsi sebagai aset yang harus dilatih dan dikembangkan kemampuannya (Gilarso, 2004).  
Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Schermerhorn (dalam Gaol, 2014) karyawan adalah orang, individu-individu dan kelompok-kelompok yang membantu organisasi menghasilkan barang-barang atau jasa-jasa. Istijanto (2005) juga menambahkan bahwa karyawan merupakan satu-satunya aset perusahaan yang bernapas atau hidup di samping aset-aset lain yang tidak bernapas atau bersifat kebendaan seperti modal, bangunan gedung, mesin, peralatan kantor, persediaan barang, dan sebagainya.
Setiap organisasi senantiasa akan berupaya untuk dapat mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan dengan efektif dan efisien. Efektivitas dan efisiensi organisasi sangat tergantung pada baik buruknya pengembangan karyawan atau anggota organisasi itu sendiri. Ini berarti bahwa karyawan yang ada dalam organisasi tersebut secara proporsional harus diberikan latihan dan pendidikan yang sebaik-baiknya, bahkan harus sesempurna mungkin (Kadarisman, 2014).
Sebagai pemegang peranan paling penting dalam suatu perusahaan, tidak jarang ditemukan karyawan yang menunda-nunda tugas dalam proses menyelesaikan pekerjaannya atau yang dikenal dengan istilah prokrastinasi. Prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastination dengan awalan “pro” yang berarti mendorong maju atau bergerak maju dan akhiran “crastinus” yang berarti keputusan hari esok. Jika digabungkan menjadi “menangguhkan” atau “menunda sampai hari berikutnya” (Ghufron dan Risnawati, 2011).

Individu dapat dikatakan melakukan prokrastinasi apabila individu tersebut mempunyai kesulitan untuk mengerjakan suatu pekerjaan sesuai batas waktu, sering mengalami keterlambatan untuk memulai mengerjakan pekerjaan, maupun gagal dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikannya (Ghufron dan Risnawati, 2011).
Menurut Burka dan Yuen (1983), ada banyak prokrastinasi yang dilakukan dalam kehidupan. Beberapa individu melakukan prokrastinasi hanya pada satu area saja, sementara yang lainnya melakukan prokrastinasi dalam hampir semua aspek kehidupannya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian tentang prokrastinasi yang dilakukan Wyc pada tahun 2002 (Wyc, dalam Desemia, 2013) yang mengatakan bahwa sekitar 60% dari populasi Amerika pada saat itu sedikit mengalami prokrastinasi dan 6% mengatakan sering mengalami prokrastinasi.
Ada beragam alasan yang berbeda yang membuat individu menjadi penunda. Sebagian individu khawatir akan kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan benar. Saat dihadapkan pada hal-hal baru atau menantang, keraguan atau rasa kurang percaya diri membuat individu menunda bekerja hingga menit terakhir. Dalam hal ini, selalu saja ada hal-hal yang lebih menyenangkan untuk dilakukan terlebih dahulu, dan hal-hal yang harus dilakukan kedengarannya tidak menyenangkan. Sebagian individu melakukan perilaku menunda,  karena kurang dapat mengatur pekerjaannya dan tidak tahu memulai darimana. Selain itu, sebagian individu menunda pekerjaannya, karena meragukan diri sendiri serta kemampuan untuk menyelesaikan suatu tugas, dan sebagian lagi menunda karena untuk menunjukkan kepada individu lain bahwa dirinya tidak ingin diperintah (dalam Basco, 2010).
Menurut tiga ahli prokrastinasi, Joseph Ferrari, Ph.D., Profesor Psikologi dari De Paul University di Chicago, dan Timorthy Pychyl, Ph.D, banyak penyebab terbentuknya prokrastinas. Hal penting yang perlu diketahui ialah sifat prokrastinasi terbentuk dari lingkungan dan bukan akibat faktor keturunan (Burhanuddin, dalam kompasiana,  2015).  Hal ini sejalan dengan pernyataan Ghufron dan Risnawati (2011) yang menyebutkan bahwa perilaku prokrastinasi juga bisa muncul pada kondisi lingkungan lenient atau pengawasan yang rendah pada lingkungan tempat individu tinggal dan kondisi lingkungan sekolah atau bekerja.
Selain itu, kebiasaan menunda bisa terpicu melalui berbagai cara dan kejadian seperti; stres, terjebak dalam tumpukan tugas dan jadwal, rasa malas, kurangnya motivasi, kurangnya disiplin, buruknya manajemen diri, kurangnya keterampilan yang dibutuhkan, dan perfeksionis (Anonim, 2014).
Sesungguhnya, masalah utama dari perilaku prokrastinasi adalah masalah manajemen waktu dan masalah penetapan prioritas. Hasil berbagai penelitian menunjukkan ada beberapa masalah yang menyebabkan timbulnya prokrastinasi tersebut. Pertama, karakteristik tugas adalah bagaimana karakter dari pekerjaan itu sendiri. Jika terlalu sulit, orang akan cenderung menunda pekerjaan atau tugas tersebut. Kedua, karakter personality (kurang percaya diri, perubahan suasana hati, irasional). Individu akan cenderung menunda pekerjaan jika kurang percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan tersebut (Burhanuddin, 2015).
Menurut Freud, prokrastinator sebenarnya sadar bahwa dirinya menghadapi tugas-tugas yang penting dan bermanfaat (sebagai tugas yang primer). Sayangnya, dengan sengaja menunda-nunda secara berulang-ulang (komplusif), hingga muncul perasaan tidak nyaman, cemas dan merasa bersalah dalam dirinya (dalam Ghufron dan Risnawati, 2011). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Solomon dan Rothblum (dalam El, 2013) yang melibatkan 101 pria dan 222 wanita sebagai sampel, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% individu dalam penelitian tersebut mengatakan prokrastinasi merupakan masalah bagi mereka.
Seorang prokrastinator, secara sengaja tidak segera melakukan tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu yang dimilikinya untuk melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih menyenangkan dan mendatangkan hiburan, seperti membaca (koran, majalah, atau buku cerita lainnya), menonton, mengobrol, jalan-jalan, mendengarkan musik, dan sebagainya sehingga menyita waktu yang dia miliki untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikannya (dalam Ghufron dan Risnawati, 2011).
Hal ini didukung oleh penelitian Desemia (2013) yang dilakukan pada 30 orang pegawai di Dinas Sosial pada tanggal 26 Juli 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua pegawai pernah menunda mengerjakan pekerjaannya selama bekerja di kantor tersebut. Perilaku menunda-nunda pekerjaan dilakukan dengan berbagai alasan yaitu lebih memilih bermain HP (21,4%), lebih memilih bermain komputer atau laptop (19%), mengobrol dengan rekan kerja (19%), pekerjaan yang tidak menarik (16,67%), menumpuknya pekerjaan yang harus dikerjakan (9,5%), mengerjakan pekerjaan lain (7,14), dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan (4,8%).
Individu yang memiliki prokrastinasi tinggi menunjukkan dirinya telah menunda-nunda mengerjakan tugas, terlambat mengerjakan tugas, tidak sesuai dengan deadline yang telah ditetapkan, dan mendahulukan aktivitas lain saat menyelesaikan tugas. Sebaliknya, individu yang memiliki prokrastinasi rendah menunjukkan dirinya bersegera dalam mengerjakan tugas, tepat waktu mengerjakan tugas, antara rencana dan aktualisasi sesuai, serta fokus terhadap tugas yang ingin diselesaikan (dalam Savira dan Yudi, 2013).
Dampak apabila seseorang karyawan melakukan prokrastinasi atau penundaan dalam pekerjaannya adalah akan timbul masalah dalam pekerjaan yang ditunda. Pekerjaan tersebut akan terus menumpuk, sehingga karyawan semakin terbebani dengan pekerjaan tersebut. Mereka akan dikejar batas waktu penyelesaian pekerjaan dengan target yang harus dipenuhi, sementara pekerjaan tersebut tertunda (Ghufron dan Risnawati, 2011).
Selain itu, prokrastinasi tidak hanya berdampak pada karyawan saja, tetapi juga berdampak besar pada perusahaan dimana karyawan itu bekerja. Menurut hasil penelitian Hardjana (1994), didapatkan hasil bahwa prokrastinasi itu pada hakekatnya membawa resiko yang tinggi dalam kehidupan setiap individu yang melakukannya terutama apabila prokrastinasi telah menjadi sebuah kebiasaan, maka perilaku menunda tersebut menjadi sesuatu hal yang biasa terjadi secara konsisten dan berkelanjutan secara terus menerus. Lalu efek dari prokrastinasi yang menjadi kebiasaan tersebut adalah adanya keterlambatan dalam menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang dikerjakan oleh individu, dari keterlambatan ini maka akan terjadi adanya penurunan kualitas kerja, dan akibat dari penurunan kualitas kerja tersebut adalah menurunnya produktivitas pada perusahaan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah bertambah besarnya perilaku prokrastinasi pada karyawan adalah dengan pemberian insentif. Seperti yang diketahui, kebutuhan karyawan sebagai individu dapat berupa materiil dan non materiil. Masalah kebutuhan ini dapat menjadi pendorong manusia untuk bekerja atau dapat menyebabkan karyawan lebih bersemangat dalam melakukan pekerjaan dengan mengharapkan memperoleh imbalan balas jasa dari perusahaan tempat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya tersebut (Suparyanto dan Bari, 2014).
Insentif merupakan tambahan upah (bonus) karena adanya kelebihan prestasi yang membedakan dengan yang lain, yang dimaksudkan untuk dapat meningkatkan produktivitas karyawan dan mempertahankan karyawan yang berprestasi untuk tetap berada dalam organisasi (Matoyo, dalam Suparyanto dan Bari, 2014). Insentif diberikan untuk mendorong karyawan lebih giat bekerja dan biasanya diberikan pada karyawan yang mudah diukur prestasi atau produktivitasnya secara satuan (Gaol, 2014).
Beberapa insentif dapat bersifat keuangan, sementara lainnya bisa bersifat psikologis dan sosial. Insentif keuangan mencakup kenaikan gaji, bonus, tunjangan, dan fasilitas (mobil, perjalanan wisata, keanggotaan klub, dan seterusnya). Insentif psikologis dan sosial meliputi kemungkinan promosi, tambahan tanggung jawab, otonomi yang lebih besar, lokasi geografis yang lebih baik, dan pengakuan (piala, partisipasi dalam program pengembangan eksekutif, dan semacamnya (Anthony dan Govindarajan, 2004).
Ranupandojo dan Husnan (dalam Badriyah, 2015) menjelaskan bahwa agar insentif bisa berhasil, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut. Pembayaran insentif hendaknya sederhana agar dapat dimengerti dan dihitung oleh karyawan itu sendiri, penghasilan yang diterima buruh hendaknya langsung menaikkan output dan efisiensi, pembayaran hendaknya dilakukan secepat mungkin, standar kerja hendaknya ditentukan dengan hati-hati, standar kerja yang tinggi ataupun terlalu rendah sama tidak baiknya, besarnya upah normal dengan standar kerja per-jam hendaknya cukup merangsang pekerja untuk bekerja lebih giat.
Insentif mempunyai manfaat bagi karyawan. Manfaat yang utama adalah insentif dapat meningkatkan keyakinan karyawan (instrumentalitas) bahwa prestasi yang tinggi akan menghasilkan imbalan guna meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja pada karyawan (Davis dan Newstrom, 2000).
Sayangnya, tidak semua karyawan atau individu mempersepsikan pemberian insentif sebagai sesuatu yang dinilai memiliki tujuan untuk meningkatkan motivasi diri. Ada sejumlah individu yang berpendapat bahwa insentif memiliki valensi bagi dirinya sendiri dan di sisi lain, insentif dipandang sebagai hal yang objektif (Davis dan Newstrom, 2000). Hal ini senada juga diungkapkan oleh Robbins (dalam Maulana dan Gumelar, 2013) bahwa meskipun individu-individu memandang pada suatu benda atau hal yang sama, individu dapat mempersepsikannya berbeda-beda.
Persepsi itu sendiri didefinisikan King (dalam Suciati, 2015) sebagai proses mengatur dan mengartikan informasi sensoris untuk memberikan makna. Persepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor belajar, motivasi, dan pemerhati perseptor atau pemersepsi ketika proses persepsi terjadi (Gimler, dalam Maulana dan Gumelar, 2013). Sejumlah faktor seperti pelaku persepsi (perceiver), objek atau yang dipersepsikan, dan konteks dari situasi dimana persepsi itu dilakukan juga bekerja untuk membentuk dan terkadang memutarbalikkan persepsi (Robbins, dalam Maulana dan Gumelar, 2013).
Dalam penelitian Purwani dan Nurhayati (2013) yang berjudul Kontribusi Persepsi Insentif dan Kepuasan Kerja Terhadap Motivasi Kerja yang dilakukan kepada 100 karyawan laki-laki dan wanita di PT.X yang bergerak dalam bidang garmen, didapatkan hasil konstribusi secara signifikan antara persepsi insentif dan kepuasan terhadap motivasi kerja. Hal ini dibuktikan dengan perolehan R Square sebesar 0,439 terhadap motivasi kerja. Artinya, persepsi insentif dan kepuasan kerja berkontribusi sebesar 43,9% terhadap motivasi kerja, sedangkan sisanya 56,1% dijelaskan oleh faktor-faktor lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Persepsi Pemberian Insentif dan Prokrastinasi Kerja Pada Karyawan” dengan mengambil perumusan masalah bagaimana hubungan persepsi pemberian insentif dan prokrastinasi kerja pada karyawan?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi pemberian insentif dan prokrastinasi kerja pada karyawan.

C. Manfaat Penelitian

1.   Manfaat Teoritis
      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan teoritis dalam bidang ilmu Psikologi, terutama dibidang Psikologi Industri dan Organisasi dan Psikologi Sosial mengenai hubungan persepsi pemberian insentif dan prokrastinasi kerja pada karyawan.

2.   Manfaat Praktis
                    a.  Bagi Karyawan
            Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman pada karyawan untuk mengurangi perilaku prokrastinasi (tidak menunda-nunda pekerjaan) agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu serta diharapkan dengan pemberian insentif lebih memacu karyawan untuk bekerja dengan baik sehingga dapat mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi lagi.
        b. Bagi Perusahaan
            Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman  pada perusahaan agar dapat memberikan insentif yang layak pada karyawan sehingga mampu meningkatkan kualitas kerja karyawan yang dapat membantu meminimalkan perilaku prokrastinasi yang bisa mengurangi keuntungan pada perusahaan.
c.  Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan terkait hubungan persepsi pemberian insentif dan prokrastinasi kerja pada karyawan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar