HUBUNGAN PERSEPSI PEMBERIAN INSENTIF DAN PROAKRASTINASI
KERJA PADA KARYAWAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karyawan merupakan salah satu sumber daya manusia
(SDM) yang sangat penting dan dibutuhkan dalam seluruh kegiatan produksi suatu
organisasi atau perusahaan. Berkembang atau tidaknya suatu perusahaan juga
tergantung dari kualitas karyawan atau SDM yang dimiliki. Secara garis besar,
karyawan atau SDM dalah individu yang bekerja sebagai penggerak suatu
organisasi, baik institusi maupun perusahaan dan berfungsi sebagai aset yang
harus dilatih dan dikembangkan kemampuannya (Gilarso, 2004).
Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Schermerhorn
(dalam Gaol, 2014) karyawan adalah orang, individu-individu dan
kelompok-kelompok yang membantu organisasi menghasilkan barang-barang atau
jasa-jasa. Istijanto (2005) juga menambahkan bahwa karyawan merupakan
satu-satunya aset perusahaan yang bernapas atau hidup di samping aset-aset lain
yang tidak bernapas atau bersifat kebendaan seperti modal, bangunan gedung,
mesin, peralatan kantor, persediaan barang, dan sebagainya.
Setiap organisasi senantiasa akan berupaya untuk
dapat mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan dengan efektif dan efisien.
Efektivitas dan efisiensi organisasi sangat tergantung pada baik buruknya
pengembangan karyawan atau anggota organisasi itu sendiri. Ini berarti bahwa
karyawan yang ada dalam organisasi tersebut secara proporsional harus diberikan
latihan dan pendidikan yang sebaik-baiknya, bahkan harus sesempurna mungkin
(Kadarisman, 2014).
Sebagai pemegang peranan paling penting dalam suatu
perusahaan, tidak jarang ditemukan karyawan yang menunda-nunda tugas dalam
proses menyelesaikan pekerjaannya atau yang dikenal dengan istilah
prokrastinasi. Prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastination dengan awalan “pro”
yang berarti mendorong maju atau bergerak maju dan akhiran “crastinus” yang berarti keputusan hari
esok. Jika digabungkan menjadi “menangguhkan” atau “menunda sampai hari
berikutnya” (Ghufron dan Risnawati, 2011).
Individu dapat dikatakan melakukan prokrastinasi
apabila individu tersebut mempunyai kesulitan untuk mengerjakan suatu pekerjaan
sesuai batas waktu, sering mengalami keterlambatan untuk memulai mengerjakan
pekerjaan, maupun gagal dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikannya
(Ghufron dan Risnawati, 2011).
Menurut Burka dan Yuen (1983), ada banyak
prokrastinasi yang dilakukan dalam kehidupan. Beberapa individu melakukan
prokrastinasi hanya pada satu area saja, sementara yang lainnya melakukan
prokrastinasi dalam hampir semua aspek kehidupannya. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian tentang prokrastinasi yang dilakukan Wyc pada tahun 2002 (Wyc,
dalam Desemia, 2013) yang mengatakan bahwa sekitar 60% dari populasi Amerika
pada saat itu sedikit mengalami prokrastinasi dan 6% mengatakan sering
mengalami prokrastinasi.
Ada beragam alasan yang berbeda yang membuat
individu menjadi penunda. Sebagian individu khawatir akan kemampuan untuk
melakukan sesuatu dengan benar. Saat dihadapkan pada hal-hal baru atau
menantang, keraguan atau rasa kurang percaya diri membuat individu menunda
bekerja hingga menit terakhir. Dalam hal ini, selalu saja ada hal-hal yang
lebih menyenangkan untuk dilakukan terlebih dahulu, dan hal-hal yang harus
dilakukan kedengarannya tidak menyenangkan. Sebagian individu melakukan
perilaku menunda, karena kurang dapat
mengatur pekerjaannya dan tidak tahu memulai darimana. Selain itu, sebagian
individu menunda pekerjaannya, karena meragukan diri sendiri serta kemampuan untuk
menyelesaikan suatu tugas, dan sebagian lagi menunda karena untuk menunjukkan
kepada individu lain bahwa dirinya tidak ingin diperintah (dalam Basco, 2010).
Menurut tiga ahli prokrastinasi, Joseph Ferrari,
Ph.D., Profesor Psikologi dari De Paul University di Chicago, dan Timorthy
Pychyl, Ph.D, banyak penyebab terbentuknya prokrastinas. Hal penting yang perlu
diketahui ialah sifat prokrastinasi terbentuk dari lingkungan dan bukan akibat
faktor keturunan (Burhanuddin, dalam kompasiana, 2015).
Hal ini sejalan dengan pernyataan Ghufron dan Risnawati (2011) yang
menyebutkan bahwa perilaku prokrastinasi juga bisa muncul pada kondisi
lingkungan lenient atau pengawasan
yang rendah pada lingkungan tempat individu tinggal dan kondisi lingkungan
sekolah atau bekerja.
Selain itu, kebiasaan menunda bisa terpicu melalui
berbagai cara dan kejadian seperti; stres, terjebak dalam tumpukan tugas dan
jadwal, rasa malas, kurangnya motivasi, kurangnya disiplin, buruknya manajemen
diri, kurangnya keterampilan yang dibutuhkan, dan perfeksionis (Anonim, 2014).
Sesungguhnya, masalah utama dari perilaku
prokrastinasi adalah masalah manajemen waktu dan masalah penetapan prioritas. Hasil
berbagai penelitian menunjukkan ada beberapa masalah yang menyebabkan timbulnya
prokrastinasi tersebut. Pertama, karakteristik tugas adalah bagaimana karakter
dari pekerjaan itu sendiri. Jika terlalu sulit, orang akan cenderung menunda
pekerjaan atau tugas tersebut. Kedua, karakter personality (kurang percaya diri, perubahan suasana hati,
irasional). Individu akan cenderung menunda pekerjaan jika kurang percaya diri
dalam melaksanakan pekerjaan tersebut (Burhanuddin, 2015).
Menurut Freud, prokrastinator sebenarnya sadar bahwa
dirinya menghadapi tugas-tugas yang penting dan bermanfaat (sebagai tugas yang
primer). Sayangnya, dengan sengaja menunda-nunda secara berulang-ulang
(komplusif), hingga muncul perasaan tidak nyaman, cemas dan merasa bersalah
dalam dirinya (dalam Ghufron dan Risnawati, 2011). Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Solomon dan Rothblum (dalam El, 2013) yang melibatkan 101 pria dan
222 wanita sebagai sampel, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari
50% individu dalam penelitian tersebut mengatakan prokrastinasi merupakan
masalah bagi mereka.
Seorang prokrastinator, secara sengaja tidak segera
melakukan tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu yang dimilikinya untuk
melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih menyenangkan dan mendatangkan
hiburan, seperti membaca (koran, majalah, atau buku cerita lainnya), menonton, mengobrol,
jalan-jalan, mendengarkan musik, dan sebagainya sehingga menyita waktu yang dia
miliki untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikannya (dalam Ghufron dan
Risnawati, 2011).
Hal ini didukung oleh penelitian Desemia (2013) yang
dilakukan pada 30 orang pegawai di Dinas Sosial pada tanggal 26 Juli 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua pegawai pernah menunda mengerjakan
pekerjaannya selama bekerja di kantor tersebut. Perilaku menunda-nunda
pekerjaan dilakukan dengan berbagai alasan yaitu lebih memilih bermain HP
(21,4%), lebih memilih bermain komputer atau laptop (19%), mengobrol dengan
rekan kerja (19%), pekerjaan yang tidak menarik (16,67%), menumpuknya pekerjaan
yang harus dikerjakan (9,5%), mengerjakan pekerjaan lain (7,14), dan tidak tahu
apa yang harus dikerjakan (4,8%).
Individu yang memiliki prokrastinasi tinggi
menunjukkan dirinya telah menunda-nunda mengerjakan tugas, terlambat
mengerjakan tugas, tidak sesuai dengan deadline
yang telah ditetapkan, dan mendahulukan aktivitas lain saat menyelesaikan
tugas. Sebaliknya, individu yang memiliki prokrastinasi rendah menunjukkan
dirinya bersegera dalam mengerjakan tugas, tepat waktu mengerjakan tugas,
antara rencana dan aktualisasi sesuai, serta fokus terhadap tugas yang ingin
diselesaikan (dalam Savira dan Yudi, 2013).
Dampak apabila seseorang karyawan melakukan
prokrastinasi atau penundaan dalam pekerjaannya adalah akan timbul masalah
dalam pekerjaan yang ditunda. Pekerjaan tersebut akan terus menumpuk, sehingga karyawan
semakin terbebani dengan pekerjaan tersebut. Mereka akan dikejar batas waktu
penyelesaian pekerjaan dengan target yang harus dipenuhi, sementara pekerjaan
tersebut tertunda (Ghufron dan Risnawati, 2011).
Selain itu, prokrastinasi tidak hanya berdampak pada
karyawan saja, tetapi juga berdampak besar pada perusahaan dimana karyawan itu
bekerja. Menurut hasil penelitian Hardjana (1994), didapatkan hasil bahwa
prokrastinasi itu pada hakekatnya membawa resiko yang tinggi dalam kehidupan
setiap individu yang melakukannya terutama apabila prokrastinasi telah menjadi
sebuah kebiasaan, maka perilaku menunda tersebut menjadi sesuatu hal yang biasa
terjadi secara konsisten dan berkelanjutan secara terus menerus. Lalu efek dari
prokrastinasi yang menjadi kebiasaan tersebut adalah adanya keterlambatan dalam
menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang dikerjakan oleh individu, dari
keterlambatan ini maka akan terjadi adanya penurunan kualitas kerja, dan akibat
dari penurunan kualitas kerja tersebut adalah menurunnya produktivitas pada
perusahaan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
bertambah besarnya perilaku prokrastinasi pada karyawan adalah dengan pemberian
insentif. Seperti yang diketahui, kebutuhan karyawan sebagai individu dapat
berupa materiil dan non materiil. Masalah kebutuhan ini dapat menjadi pendorong
manusia untuk bekerja atau dapat menyebabkan karyawan lebih bersemangat dalam
melakukan pekerjaan dengan mengharapkan memperoleh imbalan balas jasa dari
perusahaan tempat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya tersebut (Suparyanto dan
Bari, 2014).
Insentif merupakan tambahan upah (bonus) karena
adanya kelebihan prestasi yang membedakan dengan yang lain, yang dimaksudkan
untuk dapat meningkatkan produktivitas karyawan dan mempertahankan karyawan
yang berprestasi untuk tetap berada dalam organisasi (Matoyo, dalam Suparyanto
dan Bari, 2014). Insentif diberikan untuk mendorong karyawan lebih giat bekerja
dan biasanya diberikan pada karyawan yang mudah diukur prestasi atau
produktivitasnya secara satuan (Gaol, 2014).
Beberapa insentif dapat bersifat keuangan, sementara
lainnya bisa bersifat psikologis dan sosial. Insentif keuangan mencakup
kenaikan gaji, bonus, tunjangan, dan fasilitas (mobil, perjalanan wisata,
keanggotaan klub, dan seterusnya). Insentif psikologis dan sosial meliputi
kemungkinan promosi, tambahan tanggung jawab, otonomi yang lebih besar, lokasi
geografis yang lebih baik, dan pengakuan (piala, partisipasi dalam program
pengembangan eksekutif, dan semacamnya (Anthony dan Govindarajan, 2004).
Ranupandojo dan Husnan (dalam Badriyah, 2015)
menjelaskan bahwa agar insentif bisa berhasil, maka perlu diperhatikan hal-hal
berikut. Pembayaran insentif hendaknya sederhana agar dapat dimengerti dan
dihitung oleh karyawan itu sendiri, penghasilan yang diterima buruh hendaknya
langsung menaikkan output dan
efisiensi, pembayaran hendaknya dilakukan secepat mungkin, standar kerja hendaknya
ditentukan dengan hati-hati, standar kerja yang tinggi ataupun terlalu rendah
sama tidak baiknya, besarnya upah normal dengan standar kerja per-jam hendaknya
cukup merangsang pekerja untuk bekerja lebih giat.
Insentif mempunyai manfaat bagi
karyawan. Manfaat yang utama adalah insentif dapat meningkatkan keyakinan
karyawan (instrumentalitas) bahwa prestasi yang tinggi akan menghasilkan
imbalan guna meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja pada karyawan (Davis
dan Newstrom, 2000).
Sayangnya, tidak semua karyawan atau
individu mempersepsikan pemberian insentif sebagai sesuatu yang dinilai
memiliki tujuan untuk meningkatkan motivasi diri. Ada sejumlah individu yang
berpendapat bahwa insentif memiliki valensi bagi dirinya sendiri dan di sisi lain,
insentif dipandang sebagai hal yang objektif (Davis dan Newstrom, 2000). Hal
ini senada juga diungkapkan oleh Robbins (dalam Maulana dan Gumelar, 2013)
bahwa meskipun individu-individu memandang pada suatu benda atau hal yang sama,
individu dapat mempersepsikannya berbeda-beda.
Persepsi itu sendiri
didefinisikan King (dalam Suciati, 2015) sebagai proses mengatur dan
mengartikan informasi sensoris untuk memberikan makna. Persepsi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain faktor belajar, motivasi, dan pemerhati
perseptor atau pemersepsi ketika proses persepsi terjadi (Gimler, dalam Maulana
dan Gumelar, 2013). Sejumlah faktor seperti pelaku persepsi (perceiver), objek atau yang
dipersepsikan, dan konteks dari situasi dimana persepsi itu dilakukan juga
bekerja untuk membentuk dan terkadang memutarbalikkan persepsi (Robbins, dalam
Maulana dan Gumelar, 2013).
Dalam penelitian Purwani dan Nurhayati (2013) yang
berjudul Kontribusi Persepsi Insentif dan Kepuasan Kerja Terhadap Motivasi
Kerja yang dilakukan kepada 100 karyawan laki-laki dan wanita di PT.X yang
bergerak dalam bidang garmen, didapatkan hasil konstribusi secara signifikan
antara persepsi insentif dan kepuasan terhadap motivasi kerja. Hal ini
dibuktikan dengan perolehan R Square sebesar 0,439 terhadap motivasi kerja.
Artinya, persepsi insentif dan kepuasan kerja berkontribusi sebesar 43,9%
terhadap motivasi kerja, sedangkan sisanya 56,1% dijelaskan oleh faktor-faktor
lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Persepsi Pemberian
Insentif dan Prokrastinasi Kerja Pada Karyawan” dengan mengambil perumusan
masalah bagaimana hubungan persepsi pemberian insentif dan prokrastinasi kerja
pada karyawan?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan persepsi pemberian insentif dan prokrastinasi kerja pada karyawan.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat
Teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan teoritis dalam bidang
ilmu Psikologi, terutama dibidang Psikologi Industri dan Organisasi dan
Psikologi Sosial mengenai hubungan persepsi pemberian insentif dan
prokrastinasi kerja pada karyawan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Karyawan
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman pada karyawan untuk mengurangi
perilaku prokrastinasi (tidak menunda-nunda pekerjaan) agar dapat menyelesaikan
pekerjaan dengan tepat waktu serta diharapkan dengan pemberian insentif lebih
memacu karyawan untuk bekerja dengan baik sehingga dapat mencapai tingkat
kinerja yang lebih tinggi lagi.
b.
Bagi Perusahaan
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman pada perusahaan agar dapat memberikan insentif
yang layak pada karyawan sehingga mampu meningkatkan kualitas kerja karyawan
yang dapat membantu meminimalkan perilaku prokrastinasi yang bisa mengurangi
keuntungan pada perusahaan.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan wawasan terkait hubungan persepsi pemberian
insentif dan prokrastinasi kerja pada karyawan.